BAHASA DAN KEKUASAAN

Image

A.    PENDAHULUAN

Bahasa merupakan praktik kekuasaan. Wacana dapat digunakan untuk memperbesar pengaruh kekuasaan. Wacana dapat menjadi sarana untuk memarjinalkan dan merendahkan kelompok yang tidak dominan dalam wacana. Melalui bahasa seseorang dapat ditampilkan secara baik ataupun buruk kepada khalayak. Bahasa tidak dimaknai sebagai sesuatu yang netral yang dapat mentransmisikan dan menghadirkan realitas seperti keadaan aslinya, melainkan ia sudah bermuatan kekuasaan.

Kesenjangan yang besar antara teks yang sangat mikro dan sempit dengan masyarakat yang luas dan besar. Di antara keduanya terdapat jarak atau celah untuk menghadirkan kekuatan-kekuatan dalam teks. Bahasa dijadikan alat untuk mendeteksi ideologi dalam teks.

Bagi kebanyakan orang, bahasa dan kekuasaan adalah dua bidang yang  tidak berhubungan. Pengamatan ini hampir benar manakala bahasa hanya direduksi sebagai tatabahasa dan kekuasaan hanya direduksi sebagai teori politik belaka. Dalam praktik sosial, semua itu akan kelihatan transparan.

Kekuasaan (power) itu pada intinya adalah pengaruh. Yakni proses mempengaruhi pihak lain agar sesuai dengan tujuan dari si pelaku (actor). Bila perlu upaya mempengaruhi itu dilakukan dengan paksaan, selain dengan usaha-usaha persuasive. Semakin kuat posisi seseorang dalam struktur kekuasaan, lebih-lebih kekuasaan formal dalam strkutur kenegaraan,maka kian kuatlah pengaruh itu untuk dimainkan sehingga setiap pihak akan berada dalam dominasi kekuasaannya.

Dalam kehidupan poltik kenegaraan, kekuasaan seseorang atau mereka yang berkuasa, menyebar bukan sekadar melalui alat-alat politik termasuk di dalamnya birokrasi. Lebih jauh lagi kekuasaan itu menyebar dan diaktualisasikan melalui bahasa. Bahasa yang dipakai seringkali mencerminkan bangunan dan proses kekuasaan yang dominant. Sepert kata Habermas-tokoh teori kritik dan postmodernisme- bahwa bahasa adalah kepentingan. Kepentingan dari siapa yang memakainya. Dan mereka yang memiliki kekuasaan juga menguasai bahasa, yakni bahasa yang membawa kepentingan kekuasaannya.

Anda dapat mengatakan mundur dari kekuasaan politik dan kemudian meralatnya secara halus ataupun terang-terangan tanpa merasa perlu menggugat soal kejujuran, hanya karena memiliki kekuasaan. Anda juga dapat mengatakan pernyataan-pernyataan politik yang penuh parody atau pertentangan isi, hanya karena memiliki kekuasaan. Anda dapat mempermainkan seribu satu kosakata politik karena demikian kuat kekuasaan yang dimiliki. Bahasa dapat menjadi permainan kekuasaan yang efektif.

Melalui bahasa, kekuasaan dapat semakin akumulasi atau semakin berpengaruh segala arah. Anda dapat mengatakan kata-kata mundur untuk sebuah tujuan yang sesungguhnya maju terus, atau sebaliknya. Anda dapat mengatakan X untuk maksud yang sesungguhnya Z. Pelaku dapat diubah menjadi objek dan objek diubah menjadi subjek. Sesuatu yang secara subtansi inkonstitusional dapat berubah menjadi konstitusional dan begitu pula sebaliknya. Semua itu dapat terjadi karena kekuasaan, kekuasaan yang menemukan saluran melalui bahasa.

Kekuasaan dan politik juga seringkali bermain dengan dalam tataran klaim atau pengakuan. Atas nama pembangunan, atas nama umat Islam, atas nama konstitusi, atas nama bangsa, atas nama Negara, dan sebangsanya. Klaim-klaim atas nama muncul hanya melalui bahasa, yakni bahasa yang membawa muatan kepentingan kekuasaan. Melalui bahasa suatu kekuasaan dapat menciptakan citra pihak-pihak lain sebagai subversi, inkonstitusional dan sebagainya, yang menggambarkan perlawanan terhadap bangsa dan Negara. Pada saat yang sama, bahasa juga dapat memeberikan citra serba mulia dan positif bagi yang memegang kekuasaan.

 

  1. A.    PEMBAHASAN
  2. 1.      Sentralitas Konsep Kekuasaan

Satu konsep penting yang selalu dikedepankan dalam setiap kajian fenomena-fenomena sosial adalah konsep tentang kekuasaan. Kekuasaan adalah konsep abstrak, tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Pengaruh kekuasaan itu tampak mulai dari hubungan pribadi dua orang sampai hubungan yang luas dalam sistem kenegaraan dan organisasi dunia. Dalam dialog antarpribadi, misalnya, mengapa seseorang sedikit melakukan pengambilan giliran (turn-taking), salah satu penyebabnya adalah persoalan kekuasaan. Dalam relasi antarnegara, mengapa Amerika Serikat memperoleh hak-hak istimewa dalam pelbagai pengambilan keputusan, faktor penyebab yang paling signifikan adalah persoalan kekuasaan.

Dua pertanyaan dari Fuocault terkait dengan kekuasaan perlu kita renungkan. Pertanyaan pertama, “apakah kekuasaan itu dan dari manakah asal kekuasaan.” Berbeda dengan Marx yang memandang kekuasaan itu miliki kelas penguasa atau borjuis, Foucault memandang kekuasaan bukan milik kelas penguasa. Kekuasaan adalah sebuah wilayah strategis, tempat terjadinya hubungan yang tidak setara antara si kuat dan si lemah: “di mana ada kekuasaan di situ ada perlawanan.” Ada hubungan yang asimetris antara penghasil teks dan konsumen teks. Rumusan lain menyebutkan bahwa kekuasaan adalah kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi sehingga dengan menelitinya kita dapat mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa.

Perlu ditekankan bahwa dalam pandangan Foucault kekuasaan tidak melulu atau tidak boleh selalu dianggap sebagai sarana negatif, sesuatu yang menolak, sesuatu yang menekan, sesuatu yang menegasikan, sebaliknya kekuasaan adalah sesuatu yang produktif. Foucault memaparkannya sebagai berikut.

Kita harus menghentikan penggambaran kekuasaan dan pengaruhnya sebagai sesuatu yang negatif, membuang, menekan, memberangus, menyensor, abstrak, menutupi, dan menyembunyikan. Kita harus mulai menggambarkan bahwa kekuasaan itu produktif, produktif dalam pengertian menciptakan, menghasilkan, dan melahirkan realitas, wilayah objek, dan ritual kebenaran.

Pertanyaan kedua, “bagaimana kekuasaan itu dijalankan dan bagaimana pengaruhnya”. Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana politik, misalnya, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana pemerintah atau rezim yang berkuasa atau partai politik menjalankan kekuasaannya dan bagaimana pengaruhnya kepada masyarakat atau konstituennya. Dalam negara demokrasi, kita sebagai warga negara memberikan hak kepada para elite politik untuk membuat hukum atas nama kita dan jika kita melanggar hukum itu, kita akan dihukumnya. “Kekuasaan politik” mengendalikan banyak aspek dalam kehidupan kita, seperti besarnya pajak yang kita bayar, besarnya kita harus membayar pendidikan, dan sebagainya.

Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jurnalistik, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana redaktur surat kabar sebagai kepanjangan pemilik modal menjalankan kekuasaannya dalam relasinya dengan pembaca dan bagaimana pengaruh cara pandang redaktur terhadap pembacanya. Jika pertanyaan ini dikaitkan dengan wacana jender, pertanyaan yang dapat dimunculkan adalah bagaimana superordinat relasi jender yang pada umumnya laki-laki menjalankan kekuasaannya dan bagaimana pengaruh superordinat laki-laki terhadap perempuan.[1]

Max Weber (1922) menganggap kekuasaan sebagai konsep fundamental dalam hubungan ketidaksamaan. Dalam pengertian umum, kekuasaan menunjukkan kemampuan seseorang atau sekelompok orang menyediakan kehendak mereka kapan pun saja untuk berlawanan dengan orang lain.

Kekuasaan sangat terkait erat dengan akses terhadap sumber-sumber seperti sumber-sumber ekonomi, yang ini tidak kalah pentingnya dengan kekuatan fisik seperti dalam dunia militer. Aspek-aspek kekuasaan seperti ini juga akan tampak dalam kajian kebahasaan pada berbagai tingkatan.

Kekuasaan adalah sebuah konsep abstrak, tapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Kekuasaan merupakan kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenalinya siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa.[2]

Kekuasaan sendiri adalah kemampuan seseorang untuk mengontrol sikap orang lain. Ini terjadi sekurang-kurangnya bila terdapat dua orang. Istilah ‘superior’ dan ‘inferior’ mengacu pada dasar-dasar kekuasaan yang ada di masyarakat (negara, gereja, pesantren, tentara, kekayaan, keluarga), juga mengacu pada faktor lain seperti umur, jenis kelamin, dan kekuatan fisik. Pada beberapa bahasa, kekuasaan itu ditunjukkan dengan pembedaan penggunaan kata untuk mengacu pada sesuatu yang sama. Mayoritas bahasa Eropa modern mempergunakan pembeda T/V untuk menunjukkan kekuasaan yang mengacu pada kata ganti orang kedua. T dipergunakan dalam komunikasi timbal balik antar kawan, sementara V dipergunakan dalam komunikasi timbal balik bukan antar kawan.

Status dan kekuasaan relatif juga tetap ditandai dengan fenomena bahasa yang terkait, seperti beberapa istilah panggilan dalam bahasa Inggris Britania (madam, sir, your ladyship). Hal ini terkait erat dengan masalah kesantunan dalam berinteraksi. Menurut Brown dan Levinson, tingkatan kesantunan dalam interaksi antar peserta komunikasi didasarkan pada tiga faktor berikut:

  1. Jarak sosial antara pembicara (speaker) dengan orang yang diajak bicara (addressee);
  2. Kekuasaan relatif satu orang menguasai atas yang lain;
  3. Tingkatan pembebanan yang dihubungkan dengan interaksi.

Mengenai penggunaan kata ganti, nama diri, gelar, dan panggilan terdapat dua pandangan:

  1. Menekankan unsur kesamaan peserta dalam komunikasi (equal encounters)
  2. Menekankan unsur ketidaksamaan peserta dalam komunikasi (unequal encounters).

Satu pihak menganggap semua itu (kata ganti dan seterusnya) merupakan bagian dari subsistem bahasa yang menjelaskan asimetri dari kekuasaan dan solidaritas (perkawanan) antara individu-individu dan institusi yang mereka representasikan. Di pihak lainnya menyatakan bahwa semua itu merupakan kekhasan cara bahasa yang secara umum dikaitkan dengan institusi sosial dan ketidaksamaan sosial.

Teori sosial pada akhir abad 20 tidak hanya bertumpu pada teori sosiologi saja melainkan memerlukan pula jasa linguistik. Sebagai sebuah hubungan timbal balik yang dibangun tidak hanya karena bahasa merupakan sarana penting dalam kontrol sosial dan kontrol kekuasaan, tapi bahasa juga telah tumbuh secara dramatis dalam istilah-istilah yang berbeda fungsi namun diterima oleh masyarakat modern. Bahasa juga memiliki peran yang penting dalam politik, berita televisi-radio, iklan, ideologi, dan sebagainya.[3]

Proses-proses ideologis (yang tentu saja memerlukan bahasa sebagai media), misalnya, menempati posisi di dalam berbagai organisasi dan institusi, seperti gereja, sistem legal, keluarga, dan sistem pendidikan. Nicos Poulantzas (1973) bahkan membedakan sistem negara ke dalam dua kelompok:

  1. Aparat represif (seperti tentara, polisi, pengadilan, pemerintah, dan petugas administrasi)
  2. Aparat ideologis (seperti gereja, partai politik, serikat pekerja, akademisi, media massa, dan keluarga).

Tanda bahasa sendiri terbuka untuk orientasi dan evaluasi yang berbeda dalam dunia sosial. Tanda bahasa juga telah menjadi semacam arena dari kelas perjuangan (Voloshinov, 1973: 23). Formulasi ini dapat diperluas untuk perjuangan di dalam dan di luar bahasa, seperti perjuangan gender dan perjuangan hak-hak minoritas. Inilah yang disebut oleh Bakhtin (1981) disebut sebagai heteroglosia, yaitu keberdampingan dan saling mempengaruhi antara berbagai suara atau linguistik dan orientasi sosial pada kalimat ujaran.

Fairclough membawa dimensi linguistik ke dalam studi wacana. Menurutnya, ada tiga dimensi yang secara simultan mempresentasikan wacana:

  1. Bahasa teks (yang diucapkan, dituliskan, atau ditandai)
  2. Praktik wacana (meliputi produksi teks dan produksi tafsiran)
  3. Praktik sosiokultural (meliputi hubungan sosial dan politik yang lebih luas)

Fairclough juga memperkenalkan konsep yang disebutnya sebagai ‘aturan wacana’ (order of discourse) yang berhubungan dengan praktik-praktik wacana yang telah diistilahkan sebagai ‘aturan sosial’ (the social order). Tidak semua tipe wacana sama-sama disahkan dalam lingkungan sosial dan institusi yang berbeda. Dalam hal ini, seringkali terdapat tingkatan keberterimaan. Ambil sebagai contoh pembicaraan antar pengacara yang terjadi di persidangan dengan yang di luar persidangan.

Kembali terhadap masalah ideologi, Fairclough memandang bahwa ideologi disebarkan tidak hanya melalui ISAs (ideological state apparatuses, aparat ideologi negara) tapi juga melalui bahasanya sendiri yang tersebar di tiga ruang: media, iklan, dan propaganda. Oleh karena itulah, analisis kritik wacana seringkali memfokuskan teks yang tergambar dalam media: telivisi dan laporan koran, iklan, dan yang lainnya. Fairclough (1989: 179) menyarankan agar wacana media bisa menempati posisi sebagai subjek ideal; dan pembaca, pendengar atau pemerhati yang sebenarnya dapat menegosiasikan suatu hubungan dengan subjek yang diidealkan itu. Studi yang dilakukan Fairclough terhadap cara media diterima oleh pembacanya menunjukkan bahwa pembaca terkadang dapat saja menjadi kebal dari pengaruh ideologi-ideologi yang diduga benar dalam teks.

Bahasa yang sangat kuat tidak dapat diterima secara keseluruhan oleh orang yang tidak mempunyai kekuatan. Di mana ada kekuasaan, di situ pasti ada perlawanan. Sebuah studi tentang antagonisme dan interaksi antara petani dan tuan tanah di Sedarka, sebuah nama samaran untuk sebuah desa di Malaysia, ditemukan perbedaan sikap antara pada saat si petani berhubungan dengan elit tuan tanah lokal dan pada saat dia berinteraksi sesama petani. Secara linguistik, ini ditunjukkan dalam fitur aksen (pelafalan), grammar, praktik penamaan, dan peribahasa. Di sisi lain, pemilik tanah mendeskripsikan sikap mereka sebagai bantuan, kebaikan, dan simpati. Orang kaya di Sedarka memerikan diri mereka sebagai orang yang hampir tidak mempunyai waktu, sementara orang miskin menyebut mereka sebagai orang kaya. Si miskin memang tidak menggunakan ini pada saat berada di hadapan (onstage) si kaya, namun pada saat tidak berada di hadapan si kaya (offstage) ia tidak mempunyai pilihan lain. Perubahan praktik linguistik seperti ini merupakan bagian dari kemerosotan hubungan sosial.

Kekuasaan juga tidak dapat dengan mudah ditumbangkan. Ada beberapa kasus yang memposisikan perubahan semantik, yang jauh dari pikiran-pikiran sederhana dalam sebuah perubahan sosial, boleh jadi sesungguhnya menyembunyikan ketiadaan perubahan makna. Ini seperti yang terjadi pada kasta paraiyan, kasta terendah dalam sistem masyarakat Tamil Nadu.

Contoh kasus penolakan kekuatan bahasa juga dikemukakan oleh Halliday yang melakukan studi terhadap sekelompok orang yang menyatakan perlawanan status mereka pada masyarakat yang dominan dalam segala aspeknya, termasuk di dalamnya penggunaan bahasa mereka. Mereka menggunakan bahasa untuk kalangan mereka sendiri yang mereka sebut sebagai sikap anti-bahasa. Ini terjadi di banyak negara yang diorganisir secara rapi seperti layaknya sebuah masyarakat.

Selain masalah komunitas anti-bahasa, perlawanan yang terbilang sukses terhadap kekuasaan yang dominan atau bentuk bahasa standar juga dapat ditemui pada penelitian bahasa dan jender. Para peneliti feminis telah berhasil mengidentifikasi beberapa area struktur bahasa dan penggunaannya yang berpihak pada perspektif laki-laki dan menafikan perempuan. Ini banyak terjadi hampir di semua bahasa. Contoh paling sederhana adalah kata yang berkonotasi laki-laki lebih sering dipergunakan untuk mengacu pada sesuatu yang generik untuk semua orang (tanpa pembedaan jenis kelamin).

Bagi Bourdieu, setiap interaksi linguistik melahirkan simpul-simpul struktur sosial yang ekspresi dan sumbangannya berguna untuk reproduksi. Ada dua aspek kunci dalam pemikiran Bourdieu yaitu: ekonomi komunikasi dan simbol kekuasaan. Menurutnya, model komunikasi manusia adalah sistem analogi dari disiplin ilmu ekonomi, yang hal ini menunjukkan bahwa komunikasi adalah bagian dari ilmu ekonomi dalam kehidupan sehari-hari. Mengenai penggunaan bahasa ini, Bourdieu menyoroti ilmu ekonomi bursa linguistik, sebagai berikut: unsur-unsur apa saja yang diperdagangkan, pada pasar apa unsur-unsur itu diperdagangkan, berapa nilainya, investasi linguistik apa yang sudah dibuat, berapa keuntungan yang bisa didapat, dan berapa akumulasi modalnya.

Pertanyaan-pertanyaan seperti ini menyebabkan saling mempengaruhi antara sejarah global dan sejarah lokal pada kebiasaan linguistik dalam komunitas ujaran individu. Bourdieu memberikan empat tipe sumber atau modal yang dimiliki oleh makhluk hidup:

  1. Modal ekonomi;
  2. Modal budaya;
  3. Modal sosial;
  4. Modal simbolis.

Masing-masing individu didistribusikan ke dalam ruang sosial sesuai dengan:

  1. Jumlah total modal yang dimiliki;
  2. Komposisi modal mereka;
  3. Lintasan mereka dalam ruang sosial.

Menurut Bordieu, interaksi linguistik antar peserta komunikasi (dalam isi dan gayanya) sangat besar tergantung pada hubungan sosial antar peserta komunikasi. Interaksi menempati tempat di dalam pasar linguistik. Pasar ini memasukkan sistem pendidikan, bursa tenaga kerja, masyarakat tingkat tinggi, pemerintah, dan interaksi harian antar manusia. Beragam pola bahasa (gaya, wacana, pelafalan) disusun sebagai simbol aset yang dapat menerima perbedaan nilai yang tergantung pada pasar yang mereka tawarkan. Dalam hal ini, kekuasaan sangat penting dalam memobilisasi otoritas yang diakumulasikan ke dalam pasar.[4]

 

 

 

  1. 2.      Bahasa Sebagai Legitimasi Kekuasaan pada Masa Orde Baru

Feodalisme membentuk relasi atas-bawah yang dibangun dengan loyalitas. Feodalisme Jawa yang memiliki nilai kebudayaan yang direproduksi dan diwariskan secara turun temurun. Feodalisme Jawa dibangun atas kekuasaan penguasa didasarkan atas jumlah pengikut dan diikat oleh konsep bersatunya kawula dan gusti, atau bawahan dan atasan.

Legitimasi dengan bahasa terlihat jelas pada masa Orde Baru berkuasa. Orde Baru yang berkuasa tidak dapat dipisahkan dengan kepemimpinan Soeharto. Soeharto yang berasal dari keluarga Jawa tahu betul membangun sebuah legitimasi kekuasaan dengan bahasa dan pola-pola feodalisme Jawa.

Salah satu bentuk legitimasi kekuasaan pada masda Orde baru adalah legitimasi mengenai bahasa. Bahasa merupakan alat komunikasi untuk menyampaikan informasi kepada orang lain. Bahasa memiliki peranan penting dalam kehidupan sosial sehari-hari. Bahasa juga sebagai sebuah doktrin atau dogma kekuasaan. Legitimasi kekuasaan juga dapat dilihat dari bahasa yang digunakan pada masyarakat.

Legitimasi kekuasaan dengan bahasa terlihat jelas pada masyarakat Jawa. Dalam bahas Jawa terdapat klarifikasi bahasa yang ditinjau dari kriteria tingkatannya yaitu bahasa Jawa Ngoko dan Krama. Bahasa Jawa Ngoko itu dipakai untuk orang yang sudah dikenal akrab, dan terhadap orang yang lebih muda usianya serta lebih rendah derajat atau status sosialnya Sebaliknya, bahasa Jawa Krama, dipergunakan untuk bicara dengan yang belum kenal akrab, tetapi yang sebaya dalam umur maupun status, dan juga terhadap orang yang lebih tinggi umur serta statu sosialnya.

Adanya klarifikasi bahasa itu akan menimbulkan sebuah sebuah strata sosial kebangsawanan dan kedudukan sebagai priyayi. Maka bahasa yang digunakan antara pangeran bila ia berbicara dengan orang biasa berbeda dengan orang biasa berbicara dengan pangeran. Pada masa Orde Baru etika memanggil Soeharto, orang awam banyak yang menyebut “Pak Harto”. Pemakaian kata “Pak Harto” mempunyai makna ganda. Pertama, menghapus ingatan kolektif masyarakat terhadap penggunaan kata “Bung” yang dipakai oleh Soekarno dan angkatannya. Kedua bertujuan menghilangkan konsep kesetaraan. Kata “Pak” adalah sapaan merendahkan diri di hadapan sang “Pak”. Itu berarti, ada jarak yang harus ditanggung saat berbicara dengan sang “Pak”.

Dalam lingkungan kerja orang Jawa tidak mengenal bantahan dan, hanya persetujuan. Ketika dalam pengambilan keputusan bisa dilihat bahwa kata ”ya” bisa berarti tidak dan “tidak” bisa berarti ragu-ragu atau berarti “ya”. Tak ada kepastian, memang dalam pengambilan keputusan dalam masyarakat Jawa. Kepastian ini baru bisa didapatkan bila setelah pengambilan keputusan berlangsung beberapa waktu lamanya. Dilaksanakannya perintah berarti bahwa jawaban yang diberikan ialah “ya”, dan tak dilaksanakannya perintah itu sendiri berarti bahwa jawabannya yang diberikan ialah “tidak”. Jadi seorang bawahan akan selalu membuat atasannya selalu senang.

Dalam birokrasi pemerintahan Orde Baru tetap menggunakan konsep ”desa Jawa”. Soeharto juga mulai memakai istilah desa dalam menyeragamkan terhadapkeberbedaan yang ada. Desa-lah yang kemudian yang mematikan istilah nagari dan banjar. Dilihat secara administratif, suatu desa di Jawa biasanya disebut kelurahan dan dikepalai oleh seorang lurah. Lurah dibantu oleh carik, jagabaya, jagatirto, bayan,dan modin. Kemudian, desa itu masih dibagi atas dusun-dusun yang dikepalai oleh kepala dusun. Tidak cukup sampai disini, setelah dusun dibagi lagi atas Rukun warga. Dan Rukun Warga ini terdiri atas Rukun Tetangga.

Struktur masyarakat desa di Jawa yang asli, telah dirusak oleh struktur administrasif yang ditumpangkankan oleh pemerintah kolonial sejak lama. Akibat dari itu masyarakat desa di Jawa tidak memiliki kesatuan-kesatuan sosial dan organisasi yang mantap, yang dapat berbuat kreatif sendiri. Organisasi yang ditumpangi oleh sistem administrasi kepegawaiaan dan dipimpin oleh seorang pegawai, yang sering tak suka memikul tanggung jawab sendiri, dan hanya bisa menunggu perintah dari atas.

Kekuasaan didominasi oleh pusat, apapun kebijakan ekonominya, rasa kejawanlah yang menjadi pegangan desa-desa di Jawa. Inikah yang dimanfaatkan oleh Orde baru, termasuk dalam melanggengkan konsep politiknya.

Aspek yang menyebabkan bertahannya kebudayaan Jawa adalah feodalisme yang terinstitusional dari generasi ke generasi. Bagi orang desa, feodalisme bukanlah sesuatu yang harus dilihat dengan kacamata benar dan salah, melainkan sesuatu yang telah ajeg, harus dilaksanakan, dikerjakan tanpa presentasi. Hidup tinggal menerima, semua sudah ada yang mengatur. Dengan sistem birokrasi yang dibangun dari bawah sampai atas yang begitu ruwet, menyebabkan kontrol kekuasaan akan mudah. Dengan sistem itu identitas budaya lokal semakin terkikis dan mengakibatkan lahirnya generasi local yang memiliki rasa rendah diri dengan identitas kultural lokalnya.

Dalam pengunaan bahasa pada masa Orde Baru pasti kenal dengan istilah “pembangunan”, “selaras, serasi, seimbang”, bahkan “semangkin”, “daripada”, dan “ken”. Pemakaian yang dilakukan terus menerus akan meninggalkan maknanya, dan, tentu saja, mendekatkan dengan penutur pertamanya.

Dengan kata-kata itu diharapkan Soeharto dapat dekat dengan rakyatnya. Soeharto mampu menyatu dalam kalbu setiap warganya.Soeharto terinspirasi oleh konsep pewayangan . Ia mengidentifikasikan dirinya sebagi seorang tokoh semar. Dalam dunia pewayangan Semar merupakan lambang rakyat. Pengunaan kata-kata itu juga tak lepas dari unggah-ungguh. Hal ini perlukan agar masyarakat tidak sampai menggerutu Menggerutu inilah yang sering dilakukan oleh orang Jawa, mereka sering melakukannya karena tidak punya keberanian untuk berpendapat.

Kata-kata yang selalu diulang-ulang itu mengingatkan pada ajaran Jawa yang berbunyi: yen mlaku ojo sok ndangak mundhak kesandhung; mulo luwih becik tumungkulo!. Artinya: bila jalan jangan suka melihat ke atas oleh karena bisa kesandung; maka itu lebih baik melihatlah ke bawah. Maksudnya supaya di dalam kehidupan orang jangan suka melihat ke atas, ke arah mereka yang kaya dan berharta. Lebih baik memandang ke bawah, ke arah mereka yang kurang berada, daripada kita. Dalam kenyataannya lebih baik memandangi orang yang bernasib kurang baik untuk bisa membuat diri sendiri merasa beruntung daripada merasa, mengirikan mereka yang bernasib lebih baik oleh karena, sikap ini bisa perasaan malang pada diri sendiri.

Sifat chauvinisme Jawa dalam pemerintahan terlihat nyata dan terbuka. Ironi ini jelas sekali dalam peta politik Indonesia pada masa Orde Baru. Menteri, pimpinan instansi, kepala angkatan, kebanyakan bersal dari orang Jawa, yang namanya dengan jelas berakhiran “o”. Tentu, ini bukan semata karena etnis Jawa adalah kelompok masyarakat terbesar di Indonesia, melainkan lebih kepada kepercayaan kolusif yang dimiliki Soeharto kepada orang-orang yang dianggap memiliki kedekatan emosional dengannya.

Negara dan birokrasi adalah lembaga yang sama sekali rasional. Tapi, Orde Baru menunjukkan sebaliknya. Sistem Orde Baru adalah hasil sinkretis antara cara berpikir ilmiah dengan cara berpikir mistis. Mentaliet yang terlalu nerima dan bersikap pasif dalam hidup, menjadikan penguasa lebih berkuasa. Tipikal Jawa yang tampaknya hingga saat ini belum hilang daya tariknya, sekalipun orang berusaha untuk berpikir logis di dalam kehidupan tradisional yang sedang mengarah untuk menjadi modern. Sehingga pada masa kekuasaan Orde Baru pola yang dipakai adalah pola berpikir ”Jawa” dapat diartikan sebagai pola berpikir Indonesia dalam karakteristik manusia Indonesia.[5]

  1. 3.      Hubungan Bahasa dan Kekuasaan

Sekilas tidak ada hubungan sama sekali antara bahasa dan kekuasaan. Keduanya merupakan dua hal terpisah. Ini tentu tidak salah jika bahasa dimaknai secara konvensional, yakni sebagai sistem lambang yang terurai mulai dari unit yang paling kecil, yakni bunyi (phones), yang dikaji oleh phonology, morfem (morphemes) dan kata (words) yang dikaji oleh morphology, yang kodifikasinya dikembangkan lebih lanjut melalui leksikologi dan leksikografi, frase (phrases), klausa (clauses) dan kalimat (sentences), yang dikaji oleh syntax, makna (meanings) yang dikaji oleh semantics, tanda (signs) yang dikaji oleh semiotics, hingga teks (texts) yang dikaji lewat analisis teks (reading analysis), sedangkan kekuasaan dimaknai sebagai praktik politik oleh para politisi.

Oleh para ahli, pemilahan demikian melahirkan apa yang kemudian disebut dengan linguistik deskriptif (descriptive linguistics) yang pusat kajiannya adalah behaviour, contents dan elements bahasa yang kemudian dikenal sebagai “pure linguistics (micro linguistics)”. Selain makna bahasa terasa sempit, pemilahan tersebut melahirkan formalisme dalam linguistik, sehingga linguistik seolah hanya berjalan di atas satu rel saja. Sayangnya, formalisme begitu mendominasi para linguis di Indonesia dalam waktu yang cukup lama hingga awal 1960’an.

Jika bahasa dimaknai seperti itu, maka tidak mungkin antara bahasa dan kekuasaan dapat bertemu, karena dari sudut pandang disiplin ilmiah bahasa adalah wilayah kajian linguistik, sedangkan kekuasaan adalah wilayah kajian ilmu politik. Namun, perjumpaan antara bahasa dan kekuasaan dimulai setelah para kaum post-strukturalisme seperti Jurgen Habermas, Jean Baudrillard, Antonio Gramsci, Michel Foucault dan lain-lain menegaskan betapa pentingnya relasi antara bahasa dan kekuasaan. Bahkan Jean Baudrillard (dalam Latif dan Ibrahim, 1996) menegaskan bahwa “The real monopoly is never that of technical means, but that of speech”. Sejak saat itu, diskusi tentang relasi antara bahasa dan kekuasaan sangat semarak. Sebelumnya kehadiran karya Fairclough (1989) “Language and Power”, Benedict Anderson (1990) “Language and Power: Exploring Political Cultures in Indonesia”, Pierre Bourdieu (1984) “Language and Symbolic Power” juga telah membuka ruang diskusi ilmiah tentang relasi bahasa dan kekuasaan. Dampaknya, penelitian tentang relasi bahasa dan kekuasaan berkembang sehingga melahirkan karya-karya akademik yang cukup banyak berupa makalah, buku-buku ilmiah, tesis, dan bahkan disertasi.

Lebih lanjut, kaum post-strukturalis, juga membuka diri memasuki ranah lain dengan melihat bahasa dari sisi fungsi (language in use). Di sini bahasa tidak dilihat sebagai objek yang dideskripsikan semata, melainkan dilihat fungsinya dalam komunikasi, dan dalam kehidupan sosial serta budaya. Menurut saya, justru para kaum post-strukturalis tersebut mengembalikan bahasa pada hakikat dan fungsi yang sesungguhnya. Implikasinya, ilmu bahasa (linguistik) dapat membawa kita ke berbagai ranah kehidupan tempat bahasa digunakan. Misalnya, sebagai teks bahasa hadir dalam ranah seni, budaya, sastra, politik, psikologi, agama, komunikasi, sejarah, antropologi, sosiologi, dan sebagainya. Di sini terjadi apa yang disebut sebagai fungsionalisme dalam linguistik, yang disusul dengan kelahiran disiplin-disiplin baru seperti sosiolinguistik, antropolinguistik, psikolinguistik, politikolinguistik, sosiopolitikolinguistik, geolinguistik, neurolinguistik, komunikasi politik dan seterusnya. Disiplin-disiplin tersebut sering disebut inter-disciplinary linguistics (macro linguistics) .

Perkembangan linguistik fungsional juga menuntut para pengkaji bahasa untuk memahami disiplin-displin lain seperti sosiologi, bagi pengkaji sosiolinguistik, psikologi bagi pengkaji psikolinguistik, neurologi bagi pengkaji neurolinguistik, antropologi bagi pengkaji antropolinguistik, ilmu politik bagi pengkaji politikolinguistik, teori-teori tentang ideologi media dan teori kritik bagi pengkaji media, semiotika bagi pengkaji komik dan seterusnya. Berikut disajikan pemetaan wilayah kajian bahasa antara formalisme (yang berisi tentang wujud dan bentuk bahasa) dan fungsionalisme (yang berisi tujuan dan fungsi bahasa).

Perspektif fungsionalisme mengantar kajian bahasa untuk tidak lagi sekadar mengkaji bahasa, tetapi juga wacana (discourse), yaitu bahasa dalam konteks yang beraneka ragam untuk memahami maknanya. Saat ini kita dihadapkan dengan situasi multikulturalisme yang harus kita pahami secara lebih baik. Jika tidak, akan terjadi kesalahpahaman di antara kita. Sebab, bahasa yang digunakan manusia makin terserap oleh pergaulan antarbudaya, baik pada tingkat lokal, nasional, regional, maupun internasional, yang dalam studi budaya (cultural studies) disebut fenomena diaspora. Akibatnya, bahasa bukan lagi objek tunggal, malainkan sebagai bagian dari kehidupan manusia.

Sampai saat ini sudah hampir 50 (lima puluh) tahun bahasa telah dikaji melebihi batas-batas linguistik, yakni wacana dengan memahami makna di balik bahasa. Menurut teori wacana, tidak ada produk linguistik yang hadir dalam ruang hampa dan tiba-tiba, apalagi tanpa makna. Ia hadir dengan tujuan tertentu dan bahkan kuasa tertentu pula. Tidak ada kata yang tidak bermakna. Bahkan, wacana merupakan arena beroperasinya kekuasaan dan relasi kekuasaan. Karena itu menjadi agak mudah bagi kita untuk memahami dua macam kekuasaan menurut Gramsci, yaitu: koersi dan hegemoni, atau dua jenis piranti penguasaan menurut Althusser, yaitu: aparat represif kekuasaan (Repressive state apparatus), dan aparat ideologis kekuasaan (Ideological state apparatus).

Sebagai kekuasaan hegemonik yang dibangun melalui kerja aparat ideologis, maka kebanyakan kekuasaan kontemporer beroperasi dalam atau dibangun dan dipelihara melalui praktik wacana (discursive practice). Untuk memahaminya diperlukan analisis interteks. Lewat kajian wacana, kita dapat melihat jenis kekuasaan apa yang beroperasi.[6]

Bahasa dan struktur masyarakat tidak dapat terlepas dari hegomoni bahasa. Bahasa yang sudah terinternalisasi dalam kehidupan seluruh masyarakat dan di sepakati atau paling tidak memahami semua tentang arti dan maknanya maka di situ akan terbentuk apa yang kita sebut dengan bahasa. Demikianhalnya dengan kekuasaan dan bahasa orang mampu menguasai orang lain, dengan bahasa pula orang jadi tidak percaya dengan orang lain. Bahasa adalah cara utama untuk mengkomonikasikan isi fikiran. Setiap masyarakt manusia memiliki bahasa dan manusia memiliki kecerdasan aslinya tanpa kesulitan. Terlepas dari itu semua kini bahasa mudah menjadi sebuah dilematis dan mulai berubah maknanya. Bahasa yang dulunya hanya digunakan sebagi alat komunikasi kini sudah bergeser kearah politik,budaya,kekuasan dan lainnya. Seiring dengan perkembangan wacana , bahasa dijadikan sebuah legitimasi tentang bagimana orang mampu menguasai orang lain dan bagaimana orang bisa memperdaya dan menguasai musuh-musuhnya.

Kekuasaan adalah sebuah konsep abstrak tetapi sangat berpengaruh terhadap kehidupan kita. Moore dan Hendry mendifinisikannya sebagai : kekuatan dalam masyarakat yang membuat tindakan terjadi, sehingga dengan menelitinya kita bisa mengenali siapa yang mengendalikan apa dan demi kepentingan siapa.
Menurut Antonio Gramsci, konsep hegomoni terjadi ketika golongan masyarakat yang tertindas terekspolitasi secara sukarela mengabdi kepada penindas mereka. Namun dalam konsep sekarang hegemoni yang terjadi bukan lagi berwujud penindasan secara faktual. Melaikan secara tersamar sehingga kadang-kadang pihak yang tertindas tidak merasa tertindas atau tidak merasa menjadi korban . hal itu dimungkinkan terjadi karena konsep hegomoni dan kekuasaan tersebut dioperasionalkan melalui bahasa. Kekuatan bahasa yang di antaranya mengandung eufimisme memungkinkan segala sesuatu menjadi tampak baik,halus. Dan tersamar meskipun sebenarnya (kenyataan) kurang baik. Lihat saja penggunaan kata-kata yang marak terutama pada zaman orde baru, oleh para birokrat terhadap rakyat miskin. Ketika itu rakyat miskin atau yang dianggap melawan sering dikategorikan sebagai “tidak beradap” sehingga harus “didisiplinkan”,”diregulasi”, dan “dibina”. Dengan demikian istilah-istilah yang sering disuarakan oleh para penguasa pada waktu itu seperti mendisiplinkan, meregulasi, dan membina sebetulnya mengaburkan makna atau kenyataan atau kenyataan sesungguhnya supaya program-program yang dilaksanakan terlihat baik dan tidak terkesan menindas. Sampai saat ini gejala pemakian bahasa seperti itu masih sering terjadi, misalnya kenyataan penggusuran rumah-rumah atau bangunan yang dianggap liar sebagai penertiban atau relokasi. Oleh karena itu bahasa sebenarnya bukan hanya sekedar tata bahasa akan tetapi bahasa adalah membawa muatan kepentingan.

Pada zaman orde baru ketika pemerintah menuduh seseorang sebagai anti pembangunan,komunikasi,ekstrim kiri,ekstrim kanan dan sebutan-sebutan yang lain yang sejenisnya, dia pasti akan tersingkir baik secara politik maupun sosial. Ungkapan ungakapan itu telaha sedemikan ampuh untuk memberanguskan lawan-lawan politik orde baru. Bahasa adalah ekspresi kekuasaan oleh karena itu bahasa merupakan kancah perhelatan kekuasaan Dalam riil kehidupan manusia sering mengunakan subuah bahasa dalam membohongi dan menghegamoni seseorang. Dalam kancah perpolitikan ada sebuah bahasa sehingga menjadi isu yang biasa membikin konsentrasi para elite bubar. Kisah manusia adalah kisah lika-laku bahasa, dengan maknanya bahasa mampu mempu mengerakan dunia dengan kekuatan dengan bahasa pula banyak tercecer air mata bahkan darahpun mengalir tiada henti tak terasa. Pedang dihunus dan masa dimolisasi karena bahasa. Aneka kehormatan, kebahgian, sakit hati ,kekecewaan , semuanya diakhiri dengan kata-kata penguasa merasa menjadi pemilik tunggal bahasa karenanya masyarakat haruslah tunduk denganya. Bahasa yang sering digunakan oleh pemerintah hanya berlaku sepihak dan sering kali pemerintah dalam mengimbanginya isunya menjastifikasi kaum-kaum margina dengan undang-undang sebagai salah satu legitimasi. Hal yang digunakan karena diven pemerintah dalam mempertahankan keajiban dan kekuasaan dari orang-orang yang di anggap membahayakan pemerintah.

Fenomena semacam itu akan terus terjadi sepanjang para penguasa dan kaum cerdik pandai tidak ingin terbuka ditambah faktor bahasa dengan kekuasaan itu bahasa tidak lagi dapat dilihat sebagai alat kominikasi yang netral dan bebas nilai karena bahasa sudah mengandung unsur kekuasaan. Dari situ bahasa dapat dipertanyakannya nilai moralitasnya karena di balik bahasa tersebut makna yang mengindikasikan martabat dan harkat manusia menurun. Hubungan kekuasan dan bahasa tidak dapat dipisahkan sebab jalannya kekuasan di tunjukan lewat bahasa kita dapat melihat siapa yang berkuasa dan siapa yang tidak berkuasa dapat dilihat dari penggunan bahasa misalnya pidato-pidato yang di ucapkan saat rapat politik dan rapat-rapat lainnya.

Melalui Bahasa, suatu kekuasaan dapat menciptakan citra pihak lain sebagai subversiv, inkonstitusional, antipembangunan, anti kemapanan dan lain sebagainya yang menggambarkan perlawanan terhadap negara. Pada saat yang sama bahasa juga dapat memberikan citra serba positif, baik dan mulia bagi pemegang kekuasaan.[7]

DAFTAR BACAAN

 

Linda Thomas, Shan Wareing, Bahasa, Masyarakat dan Kekuasaan, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007.

Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa (Bahasa dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer), (Yogyakarta: Aditya Media, 2002).

Norman Fairclough, Language and Power, (Longman Group UK Limited: London, 1989).

Ronal Wardhhaugh, Sociolinguistics, (USA: Blackwell Publishers Ltd, 2002).

Stephenen Moores, Barry Handry, Sociology, (Sevennoaks: Hodder & Staughton, 1982).

 

Anang Santoso, Bahasa Sebagai Media Kekuasaan: Menggugat Kekerasan Simbolik Dalam Wacana Publik, http://studibahasakritis.blogspot.com/2010/05/ bahasa-sebagai-media-kekuasaan_08.html , diakses 06 November 2012.

 

Mudjia Rahardjo, BAHASA DAN KEKUASAAN http://mudjiarahardjo.com/ artikel/95.html?task=view, diakses 05 November 2012.

News and Information World, Bahasa Sebagai Legitimasi Kekuasaan pada Masa Orde Baru, http://uniksertaaneh.blogspot.com/2011/04/feodalisme-jawa-bahasa-sebagai.html , diakses 06 November 2012.

 


[1]Anang Santoso, Bahasa Sebagai Media Kekuasaan: Menggugat Kekerasan Simbolik Dalam Wacana Publik, http://studibahasakritis.blogspot.com/2010/05/ bahasa-sebagai-media-kekuasaan_08.html , diakses 06 November 2012.

[2] Stephenen Moores and Barry Handry, Sociology, (Sevennoaks: Hodder & Staughton, 1982), 127.

[3] Norman Fairclough, Language and Power, (Longman Group UK Limited: London, 1989), 3.

[4] (Laporan Bacaan untuk artikel berjudul Critical Sosiolinguistics: Approaches to Language and Power)

[5] News and Information World, Bahasa Sebagai Legitimasi Kekuasaan pada Masa Orde Baru, http://uniksertaaneh.blogspot.com/2011/04/feodalisme-jawa-bahasa-sebagai.html , diakses 06 November 2012.

[6] Mudjia Rahardjo, BAHASA DAN KEKUASAAN http://mudjiarahardjo.com/ artikel/95.html?task=view, diakses 05 November 2012.

[7] Mudjia Rahardjo, Relung-relung Bahasa (Bahasa dalam Wacana Politik Indonesia Kontemporer), (Yogyakarta: Aditya Media, 2002). h.69

Leave a comment